Sabtu, 06 Desember 2008

Aktivita

Minggu pertama, ada dua kegiatan yang kami mulai: 1. penerbitan Bulletni IKON (Membaca Tanda-tanda Zaman) dan kajian reguler. ada dua topik kajian yang diangkat dalam dua kegiatan tersebut. Untuk bulletin, kami angkat masalah seni budaya tandha' dalam kaitannya dengan wacana gender di tanah Madura. Sementara, untuk kajian, kami mencoba menelusuri seluk-beluk epistemologi Islam, dari Arab hingga dunia muslim lainnya. Dari masa Islam awal hingga sekarang. Semoga berlanjut.

Minggu, 30 November 2008

Struktur Pondok Budaya IKON Surabaya

Nama-Nama Pengelola
Pondok Budaya IKON Surabaya
Lembaga Kajian Agama dan Budaya


Direktur:
Tsanin A. Zuhairy, M.Si

Direktur Pelaksana:
Nur Faishal

Sekretaris:
Abdul Hady JM

Bendahara:
Noviana Herlianty

Departemen Kajian dan Analisa Strategis:
Badri al-Amien
Anwar Nuris
Grisna W

Departemen Litbang :
Ach. Syaiful A'la
Ahmad Shidiq Rokib

Departemen Informasi dan Penerbitan :
Ach. Tirmidzi Munahwan
Irno Sulaiman
Miftahul Jannah

" Bersama kami, Mari Lestarikan Budaya Luhur nan Bermartabat "

Jumat, 21 November 2008

Agama

Mengukuhkan Aspek Kemanusiaan Agama*

Oleh: M. Abdul Hady JM**

Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad’afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.


Pada hakikatnya, semua agama diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).

Rumusan ini mengandaikan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara pemenuhan kepentingan Tuhan dan manusia. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, Moeslim Abdurrahman (2005) menandaskan bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”.

Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu menunjukkan fakta keberagamaan yang memperihatinkan. Ternyata, kini korupsi yang merajalela justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tak terbendung meski masjid makin penuh-sesak, dan jamaah yang menunaikan haji semakin membludak.

Selama ini ada asumsi umum cukup kuat di tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual keagamaan justru semakin tak peduli dan apatis terhadap persoalan kemanusiaan.

Karena itu, menumbuhkan semangat pembaruan dan penyegaran pemahaman keagamaan cukup mendesak untuk dilakukan. Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad’afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.

Dua Langkah Rekonstruksi

Untuk merekonstruksi model pemahaman agama, langkah pertama dan terpenting adalah melakukan telaah kritis-analitis yang menyeluruh terhadap agama, baik dari sisi kesejarahan habitat awal munculnya suatu agama maupun dari sisi doktrinal-normatifnya.

Pertama, dari sisi historis awal mula kelahiran agama, kita akan tahu bahwa sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang dilakukan komunitas sosial maupun individul yang dominan. Agama lahir sebagai bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi, penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam catatan sejarah, sejumlah pendiri agama (Nabi) justru datang dari komunitas sosial yang mengalami penindasan dan eksploitasi cukup lama. Musa tampil karena prihatin atas penderitaan Bani Israil yang dalam rentang waktu cukup lama ditindas Fir’aun. Isa al-Masih (Yesus) juga datang kerena prihatin atas penderitaan rakyat banyak pada zamannya.

Nabi Muhammad kurang lebih juga mempunyai peranan dan misi yang sama. Pada awal masa kelahirannya, Islam melontarkan kritik cukup mendasar pada sistem sosial-ekonomi dan budaya Quraisy Mekkah. Sistem sosial-ekonomi yang menindas dan diskriminatif serta ketiadaan tanggung jawab sosial (sense of social responsibility) itu cukup mengakar dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Melihat kondisi sosial yang amat timpang ini, Nabi mengambil peran sebagai pemimpin kaum tertindas dan lebih memilih gaya hidup mereka. Kemudian beliau melakukan upaya pembelaan terhadap mereka. Itulah uraian ringkas yang cukup mudah kita temukan dalam beberapa literatur sejarah agama-agama dan pendirinya.

Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak ayat Alqur’an, misalnya, kita dapat menemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan keseimbangan antara dua kepentingan, Tuhan dan manusia. Bahkan problem kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan.

Surat-surat awal Alqur’an seperti al-Ma’un, al-Kautsar, al-Humazah, al-Fajr, al-Lail dan al-Balad, menunjukkan indikasi ke arah itu. Surat-surat tersebut sangat mengecam praktik akumulasi kekayaan yang diperoleh melalui cara eksploitasi sosial ekonomi dalam bentuk ketidakpedulian atas penderitaan orang-orang tertindas dan lemah (anak yatim, miskin, dll.).

Dalam surat al-Ma’un juga ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka-mereka yang hanya menikmati sembahyang (juga ritual-ritual formal lainnya), tapi lupa akan nasib orang-orang yang tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi. Bahkan, dari sekian banyak ayat Alquran, jumlah ayat-ayat yang berkaitan dengan kehidupan sosial jauh lebih banyak ketimbang ayat-ayat ibadah ritual-formal-individual. Bahkan, perbandingannya hampir satu berbanding seratus.

Hal ini cukup menjadi bukti bahwa agama, sejatinya untuk menjaga nilai dan memenuhi kepentingan kemanusiaan, bukan (hanya) untuk memapankan kekuasaan Tuhan. Dalam kaidah usul fikih pun disebutkan bahwa “amal perbuatan yang dapat dirasakan mamfaatnya oleh orang banyak lebih utama daripada amalan yang manfaatnya hanya dirasakan diri sendiri” (al-muta’addî afdlal minal qâshir). Itulah penjelasan cukup valid yang mudah ditemukan, ketika kita membaca beberapa literatur sejarah agama dan sumber doktrinal-normatif agama secara utuh.

Karena itu, masuk akal bila ”manusia tercerahkan” menurut Ali Syari’ati tak lain adalah ”mereka-mereka yang tak hanya memiliki tanggung jawab ibadah-ritual kepada Allah, tapi sekaligus orang yang punya tanggung jawab sosial kemanusiaan pada sesama saudara manusianya”. Tanpa adanya komitmen sosial (ibadah sosial) seseorang belum dapat dikatakan sebagai manusia yang tercerahkan dan pola keberagamaannya tidak dapat dianggap utuh dan ideal.


* Tulisan pernah dimuat di Website Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta, www.islamlib.com, pada 02/07/2007

** M. Abdul Hady JM, Alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten Sumenep Madura, Kontributor Jaringan Islam Kultural, Direktur Eksekutif Pondok Budaya IKON Surabaya.

Resensi

Ensiklopedi Praktis Warga NU*

Judul Buku : Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah
Pe
nulis : H. Soeleiman Fadeli & Mohammad Subhan, S.Sos
Pengantar : K.H. Abdul Muchith Muzadi, Penerbit: Khalista,
Surabaya
Ceta
kan : I, Juni 2007
Tebal : xviii + 322 halaman
Peresensi : M. Abdul Hady JM**


Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Surabaya oleh para ulama pengasuh pesantren pada tanggal 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H.

Ada banyak faktor yang melatarbelakangi berdirinya NU. Diantara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam "murni", yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem brmadzhab.

Bagi para kiai pesantren, pembaruan pemikiran keagamaan sejatinya tetap merupakan suatu keniscayaan, namun tetap tidak dengan meninggalkan tradisi keilmuan para ulama terdahulu yang masih relevan. Untuk itu, Jam'iyah Nahdlatul Ulama cukup mendesak untuk segera didirikan.

Sebagai organisasi keagamaan, NU telah melewati pergulatan sejarah yang cukup panjang. Setidaknya, NU telah melewati beberapa masa atau era yaitu era pra kemerdekaan, orde lama (pasca kemerdekaan), orde baru, dan reformasi. Dalam setiap perjalanan panjang ini, tentu saja NU mengalami perubahan dan perkembangan yang cukup besar. Buku "Antologi NU ; Sejarah, Istilah, Amaliah, Uswah" ini mencoba memberikan potret cukup jelas dan lengkap seputar sepak terjang NU sejak awal berdirinya yaitu pada masa KH. Hasyim Asy'ari hingga masa sekarang, yaitu era kepemimipinan KH. Hasyim Muzadi.

Pada awal berdirinya, NU merupakan sebuah "jam’iyyah diniyyah " murni (independen). Ia bukan organisasi politik, bahkan tidak berafiliasi sama sekali terhadap partai politik tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, NU pernah bergabung dengan partai politik tertentu, bahkan pernah menjadi partai politik sendiri.

Pada tahun-tahun awal berdirinya, yaitu tahun 1926- 1942, perjuangan NU dititik-beratkan pada penguatan doktrin Ahlussunnah waljamah (Aswaja) dalam rangka menghadapi serangan penganut ajaran Wahabi. Di antara program konkretnya, selain melakukan penguatan persatuan di antara para kiai dan pengasuh pesantren adalah menyeleksi kitab-kitab yang sesuai atau tidak sesuai dengan ajaran Aswaja.

Pada Muktamar NU ke-19 di Palembang tahun 1952, NU dideklarasikan sebagai partai politik sendiri, setelah sebelumnya cukup lama bergabung dengan Masyumi. Pada pemilu pertama 1955, Partai NU muncul sebagai kekuatan yang cukup besar dengan menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Pada masa-masa ini yaitu ketika masih menjadi partai politik, banyak tokoh NU yang menempati posisi strategis dalam lembaga pemerintahan dan lembaga legislatif, serta banyak juga yang diangkat sebagai Duta Besar RI di luar Negeri (hal. 18-20).

NU terus menapaki lorong-lorong terjal sejarah. Pada masa berikutnya yaitu sejak tahun 1973 Partai NU tidak diakui lagi, dan dipaksa harus melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Masa ini berlangsung hingga tahun 1984. Pada masa peleburan partai ini, tokoh-tokoh NU (sengaja) dipinggirkan dari kancah perpolitikan nasional dan pemerintahan oleh rezim otoriter Orde baru. Bahkan banyak tokoh NU yang dijebloskan ke dalam penjara dengan aneka macam tuduhan.

Pada dasawarsa 1980-an terjadi perubahan mengejutkan di tubuh NU. Setelah malang melintang dalam dunia politik praktis selama 32 tahun, lewat Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984, NU kembali ke khitthah 1926. NU menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali ke jati dirinya semula sebagai organisasi keagamaan (jam'iyah diniyah).

Pada masa ini, NU mulai lebih mengurusi pendidikan dan lebih menekuni kegiatan dakwah kemasyarakatan. NU mulai sibuk kembali membenahi sekolah-sekolah dan rumah sakit-rumah sakitnya yang telah lama terabaikan. Kegiatan-kegiatan pengajian kembali digalakkan, bahkan mulai masuk ke unit-unit pemerintahan. Satu persatu cabang dan ranting yang mati dihidupkan kembali (hal. 21).

Sebagai organisasi sosial keagamaan, dalam NU terdapat banyak istilah baik yang terkait dengan kelengkapan organisasi maupun nama kebijakan atau keputusan yang pernah dikeluarkan oleh NU. Dalam buku ini dijelaskan ada 57 istilah. Istilah-istilah tersebut disebutkan secara alpabet.

Selain itu, buku ini juga menjabarkan beragam budaya dan amaliah warga NU. Sebuah budaya dan amaliah yang tidak terdapat, bahkan tidak dikenal di luar organisasi NU. Bahkan ada yang dianggap sebagai amaliah bid'ah. Sekadar disebutkan misalnya, di antaranya, barzanji, tahlil, tawassul, dan ziarah kubur. Seperti nama-nama istilah dalam NU tersebut, beberapa budaya dan amaliah warga NU ini juga dipaparkan secara alpabet dari A sampai Z.

Pada bab terakhir, yaitu bab IV pembaca juga disuguhi kisah singkat para tokoh atau kiai NU. Namun dalam buku ini hanya 49 tokoh yang disebutkan. Mereka memiliki peranan yang cukup besar dalam merintis dan mengawal langkah perjalanan panjang NU. Namun demikian, selain tokoh-tokoh tersebut sejatinya juga masih banyak NU yang tak kalah pentingnya. Dari kisah singkat para tokoh ini, setidaknya kita, terutama warga NU dapat mengambil pelajaran penting (uswah) dari pernik-pernik kehidupan dan pengabdian mereka. Sebab, kontribusi mereka terhadap bangsa khusunya NU sangat besar.

Menariknya, dalam buku ini juga dilengkapi beberapa gambar peristiwa, kegiatan NU, dan foto-foto para tokoh NU tersebut. Sehingga, selain penampilan buku ini semakin menarik, yang terpenting, pembaca bukan hanya tahu namanya saja melainkan juga dapat mengetahui wajah para tokoh yang dipaparkan dalam buku ini. Akhirnya selamat membaca. !!!.


* Tulisan ini pernah dimuat di Website PBNU, www.nu.or.id, pada 02/07/2007

**M. Abdul Hady JM, Mahasiswa Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Alumnus PP. Al-Jalaly Ambunten Sumenep Madura.

Sastra

Rembulan di Atas Kepala

Cerpen : Nur Faishal

Bahwa rembulan sebagai simbol keindahan seorang wanita, sudah kudengar dari bait syair para pujangga berabad-abad lalu. Bila kemudian rembulan disanksikan keindahannya setelah manusia berhasil mendarat ke bulan, aku juga pernah mendenganya dari syair lagu seorang penyanyi dangdut.

Dan sekarang aku benar-benar bertemu rembulan. Rembulan itu hadir di saat malam hampir kehabisan suasana sunyinya. Datang tiba-tiba tanpa permisi, tanpa kuminta. Rembulan itu bertengger di atas kepala. Hampir sejengkal menindih ubun-ubunku. Dan aku benar-benar kecele. Bukankah rembulan seharusnya menggantung di atas langit yang tak berbatas?

Dia hadir di suatu malam tanpa mimpi. Kapan dia datang, bagaimana, apakah sudah menungguku berjam-jam lamanya, direncanakan atau tidak? Aku tak tahu! Rembulan di atas kepala. Tiba-tiba begitu. Selasa malam, di malam Rabu, dia menghampiriku. Merusak imaji yang sedari awal kurangkai di serpihan kata-kata.

“Kau sedang melukiskan kata-kata tentangku?” tanyanya mengagetkanku.

Terawangku berhenti. Aku tertegun. Malam itu suasana gelap gulita. Maklum, bulan hijriyah memasuki hari yang pertama. Tak mungkin ada sinar rembulan menghiasi langit hingga larut malam.

Tapi rembulan hadir menyalahi waktunya. Di atas kepalaku dia tersenyum. Memanggilku dengan nada merayu. Sinarnya begitu indah. Bukan pantulan matahari, pikirku. Sinar itu muncul dari dirinya sendiri. Dari bulat matanya kulihat sinar itu berasal.

“Kalau boleh tahu, kau menuliskan kata-kata untuk siapa?”Aku masih tertegun. Kusorot sinarnya serupa menantang. Sinar itu tak gentar sama sekali. Tiada meredup sedetik pun.

“Benarkah, sekarang aku berhadap-hadapan dengan rembulan?” Tanyaku.

“Ya.”

Dia menjawab begitu tegas. Aku tak percaya. Barangkali teman-temanku yang sedari tadi berkumpul bermaksud mengerjaiku: meniup balon raksasa lalu mengisinya dengan lampu hingga menyerupai cahaya rembulan.

“Aku rembulan sebagaimana kau curigai. Aku turun ke bumi untuk menuntaskan rasa kagummu. Tulislah dalam imaji kata-katamu. Perlihatkan kelihaianmu dalam melukiskan hayal indahmu, tentangku….”

Oh, rembulan itu kini turun ke pundak kiriku. Wajahnya lebih jelas daripada tadi. Kucoba menyentuhnya. Tak ada bersitan lobang atau bekas luka yang kutemui. Kuraba-raba permukaannya. Halus.

“Kau ingin menikmati diriku?” Tanyanya.

Kutekuk mukaku, tak percaya. Kugosok-gosok mataku, hingga pedih dan panas menimpa penglihatanku. Dan kini, rembulan itu semakin turun. Bergeser menghampiri mukaku.

“Kau masih tak percaya kalau aku benar-benar rembulan seperti dalam mimpimu itu?” Tubuhku semakin terasa kaku mendengar tanyanya dari jarak dekat..

“Ayolah, jangan diam saja. Kau menginginkanku. Jangan sia-siakan ini sebelum orang lain merebut diriku dari kesempatanmu.”

“Kau tak ada dalam mimpiku. Pergilah!” Gertakku.

“Kau masih belum mempercayaiku?” kata rembulan, merajut.

Ada yang lain yang hendak kau singgahi. Kau hanya kebetulan saja menemuiku. Tanpa rencana, seperti takdir.” Jawabku. Aku masih berdiri mematung. Mencari celah-celah kebohongan rupa dari kehadiran sang rembulan.

Dia mundur sejengkal demi sejengkal. Kupikir dia mulai bosan dengan jawaban-jawabanku. Tegunku mulai membuyar. Rembulan itu semakin jauh meninggalkan pintu. Nafasku semakin kencang. Ada rasa takut di dalam hatiku. Aku takut jangan-jangan rembulan itu benar-benar pergi lantaran kutolak rajut manisnya. Aku takut dirinya rembulan sebagaimana dikatakannya. Aku tak ingin kesempatan hilang begitu saja.

“Sebelum aku benar-benar pergi, maukah kau mengatakan tentang yang sesungguhnya? Tentang aku dalam mimpi-mimpimu. Tentang imaji kata-katamu yang hendak kau sematkan padaku. Aku hadir tanpa kau minta karena panggilan imajimu!”. Rembulan berteriak. Sangat kencang. Benar. Rasa takut itu ternyata datang karena rembulan itu hendak meninggalkanku.

Kuulurkan tanganku selurus mungkin. Kucoba memanggilnya dengan bahasa senyumku. “Kemarilah….” teriakku. Dia kembali.

*****

Rembulanku adalah kidung nyanyian sang kafilah pengagum keberanian. Dia ceritakan padaku setelah dirinya tak jadi pergi menjauhiku. Berabad-abad lamanya para penyair memuja-muja dirinya, namun tak ada satupun yang mampu memberikannya tempat keberanian yang dia impikan. Keberanian hanya milik matahari, yang memberikannya sinar hingga indah menjadi miliknya. Indah terkatakan di waktu malam karena matahari.

Padahal, ceritanya, malam adalah lambang keketiran. Gelap adalah pertanda segala mara bahaya. Tak ada yang berani melewati malam, kecuali dengan rasa awas dan langkah waspada. Dan rembulan telah mengambil resiko malam. Dia tak gentar dengan bekunya angin malam yang menyelimuti tubuh telanjangnya. Dia juga tak takut kalau dirinya akan tersesat di tengah-tengah ruang raksasa tanpa batas.

“Lalu disimpan dimana kata-kata heroik para pujangga untuk sang rembulan?” dia menanyakan itu padaku. “Mengapa hanya matahari yang selalu disebut-sebut sebagai sang pemberani oleh mereka? Padahal, hanyalah aku yang sanggup melewati malam yang penuh keketiran dan mara bahaya itu.”

Pertanyaan kedua membawaku pada permenungan yang panjang. Pertanyaan yang lain terlewatkan begitu saja. Ya, mungkin benar apa yang dikatakannya. Hanya matahari selama ini yang tampak heroik dan berani. Hanya dia yang gagah bersinar. Rembulan tidak. Dia bukan matahari. Rembulan hanya ranumnya sinar keindahan yang dikirim dari matahari. Dalam jiwa para pujangga, juga para ilmuwan, rembulan tak akan ada jika matahari tak ada.

Lalu apa arti malam bagi rembulan? Tak ada bait-bait syair yang mengutarakan tentang arti malam bagi rembulan. Atau benarkah adanya jika manusia memaknai malam sebagai kerendahan bagi rembulan. Atau juga sebagai kelemahan di tengah-tengah lautan hitam yang menggila dan menguasai. Atau jangan-jangan rembulan adalah ketidakberdayaan itu sendiri. Dan malam adalah tempat paling pantas bagi rembulan yang tak bertujuan.

Jika memang demikian, matahari adalah pahlawan. Matahari yang menentukan rembulan berjalan kesana atau kesini. Matahari yang menghendaki jika rembulan harus bersinar di tengah-tengah gelapnya malam. Matahari yang menginginkan kalau rembulan memang pantas ditempatkan di waktu malam. Bahkan matahari pula yang menandaskan jika rembulan tak lebih kuat daripada segenggam air di dalam gelas.

“Begitu kata mereka pengagum matahari,” ketusnya.

Dan rembulan yang satu ini menyangkal semua persangka tentang dirinya. Dia berontak dengan meloncat dari atas langit. Keluar dari sangkar lurus yang mengekang jalannya, yang menjadi sebab hilangnya kebebasan dirinya. Dia katakan pula padaku, lebih baik tanpa sinar menerangi tubuhnya jika harus berjalan tanpa kehendak sedikit pun. Selama ini dia merasa tak pernah merasakan keberadaan dirinya sendiri.

Suatu saat rembulan itu bermimpi ingin menjadi air. Dia mengenal air semenjak dia dicipta. Bersama air dia pernah mengguyur permukaan bumi bersama-sama. Karena air pula dia sempat tahu, tak selamanya matahari mampu menguasai keadaan. Air pernah melakukannya. Menutup sinar matahari di waktu siang dengan tindakan membekunya. Hingga jadilah air beku itu kabut menggumpal. Dan sinar matahari benar-benar redup karenanya.

Dia juga pernah bertemu angin. Air yang memberitahukan rembulan tentang angina yang dilihatnya itu. Suatu malam air bersama angin mengoyak-ngoyak seluruh permukaan bumi. Bumi dikurung dengan rupa air. Permukaannya bergejolak hebat, menggelombang. Angin membuatnya berduncak-duncak. Selama berbulan-bulan air memenuhi permukaan bumi dengan dirinya. Angin membantunya dengan mempercepat luncurannya, hingga menghunjam-hunjam. Sampai tak ada satu pun manusia dan makhluk lainnya hidup, kecuali seperahu manusia saja dan beberapa binatang piaraan.

Saat itu matahari tak sedikit pun menampakkan sinarnya. Matahari tak berani. Hanya . rembulan saat itu yang berani melakukan apa yang selama ini dilakukan matahari. Selama berbulan-bulan rembulan bekerja menyinari bumi yang dipenuhi air dan gelombang.

“Tidakkah kau bisa menggantikan matahari, Bulan?” Kata air dan angin di hari akhir rembulan bekerja.

“Lihat! Dengan sinarmu, sebuah perahu kehidupan telah kau selamatkan. Matahari tak berani melakukan itu, Bulan. Kau. Hanya engkau yang berani melakukannya. Kau telah membuktikannya.”

Dari air dan angina, rembulan tahu akan hakekat keberadaannya, kebebasannya, dan penciptaannya.

“Aku bisa ada tanpa hadirnya matahari, bukan?” sergahnya padaku.

Dan kini, rembulan ada karena dirinya sendiri. Setidaknya dari apa yang telah dia lakukan sebelum betengger di atas kepalaku. Dia telah membuktikan keberaniannya dengan meloncat dari garis jalan yang ditentukan matahari. Singgah di atas kepalaku setelah air dan angin menuntun jalan kebebasannya.

*****

Rembulan itu bernama Santa. Aku sendiri yang menamainya. Santa, karena temaram sinarnya menggambarkan sorot penasaran yang tak pernah berhenti. Santa, karena kelopak bulat mukanya memilintir ke atas. Menjuntai lentik. Seperti kelopak sipit serupa kantuk. Hampir mengatup namun tak sampai.

Dan dia telah mengatakannya padaku dalam perjumpaan tiba-tiba itu: dia tak ingin hidup dalam ingatan sejarah berabad-abad. Dia ingin hidup sebagai sejarah itu sendiri. Menjuntai sejarahnya sendiri. Memelintir sejarahnya sendiri. Melentik sejarahnya sendiri.

Katanya di akhir perjumpaan: “Karena aku adalah rembulan yang berani mengambil resiko malam. Sebab aku adalah rembulan yang berani hengkang dari genggaman sinar panas matahari. Untuk itu aku hadir di atas kepalamu. Tolong kabarkan kepada dunia perihal keberanianku ini. Dengan imaji kata-katamu aku berharap demikian.”

* Nur Faishal, Anggota Pondok Budaya IKON, sedang menyelesaikan S1 di Unsuri Surabaya

Cerpen ini pernah dimuat Duta Masyarakat, Minggu, 17 Nopember 2008